Waktu lihat majalah-majalah yang
didatangkan sepupuku dari Jakarta, ada satu artikel yang menurutku menarik
sangat. Judul artikel itu “Hukum Jamak Sholat karena Kesibukan”. Aku jadi inget
kalo aku suka banget jamak sholat dengan alasan kesibukan. Banyak temanku yang
bilang itu nggak boleh dan ada yang bilang itu boleh. Pokoknya simpang siur.
Jadi, yang mana yang benar???
Berikut kata Prof.Dr.H. Ahmad
Zahro, Guru Besar Hukum Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya mengenai bolehkah
menjamak sholat karena kesibukan yang dimuat dalam artikel tersebut.
Menjamak sholat adalah
mengumpulkan dua sholat yang dikerjakan dalam satu waktu tetapi masing-masing
tetap dikerjakan secara terpisah (masing-masing tetap dalam jumlah rakaat yang sempurna
dengan dua kali salam). Menjamak sholat ini ada dua macam, yaitu jamak taqdim
dan jamak ta’khir. Jamak taqdim adalah mengumpulkan dua sholat yang dikerjakan
di waktu sholat yang lebih awal (Dhuhur atau Maghrib), sedangkan jamak ta’khir
adalah mengumpulkan dua sholat yang dikerjakan di waktu yang akhir (Ashar atau
Isya). Sholat yang boleh dijamak (dikumpulkan) hanyalah sholat Dhuhur dengan
Ashar, dan sholat Maghrib dengan Isya.
Jumhur fuqaha’ (mayoritas ulama ahli fiqih) membolehkan
dilakukannya jamak taqdim berdasarkan pada makna hadits yang diriwayatkan dari
Mu’adz bin Jabal bahwa, “Pada waktu
perang Tabuk, apabila Rasulullah SAW akan berangkat sesudah masuk waktu
Maghrib, maka beliau mengerjakan sholat Isya dijamak dengan Maghrib” (HR
Ahmad, Abu Dawud, At Tirmizi, dan Al Hakim).
Sedangkan alasan dibolehkannya
jamak ta’khir adalah makna hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa,
“Apabila Rasulullah SAW melakukan
perjalanan sebelum matahri tergelincir (belum masuk waktu Dhuhur), maka beliau shalat
Dhuhur dulu baru berangkat.” (HR Al Bukhari dan Muslim).
SEBAB JAMAK SHOLAT
Mengenai sebab-sebab dibolehkannya menjamak
sholat, para fuqaha’ berbeda
pendapat. Fuqaha’ Malikiyah (pengikut Mazhab Maliki) berpendapat bahwa hal-hal
yang membolehkan menjamak shalat itu ada enam, yaitu bepergian (jauh atau
dekat), hujan, sakit, wukuf di Arafah, berada di Muzdalifah, dan berada dalam
keadaan yang sangat gelap. Sedangkan menurut Fuqaha’ Syafi’iyah (pengikut
Mazhab Syafi’i), hal- hal yang membolehkan menjamak sholat adalah bepergian
jauh (90 km lebih), hujan lebat, sedang melaksanakan ibadah haji di Arafah dan
Muzdalifah. Adapun Fuqaha’ Hanabillah (pengikut Mazhab Hanbali), hal-hal yang
membolehkan menjamak sholat itu ada tujuh, yaitu bepergian jauh (70 km lebih),
sakit, ibu yang menyusui, tidak mampu bersuci (wudhu atau tayammum) setiap
waktu sholat, tidak bisa mengetahui waktu sholat, wanita yang istichadlah
(mengeluarkan darah terus-menerus), dan/atau ada uzur (halangan), seperti
khawatir keselamatan diri atau hartanya, atau pekerja berat yang tidak bisa
meninggalkan pekerjaannya. Hal ini didasarkan pada makna hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa “Rasulullah
SAW shalat bersama kami di Madinah dengan menjamak sholat Dhuhur dengan Ashar
dan sholat Maghrib dengan Isya.” (HR Muslim). Kemudian, ditambahkan lagi
dengan, “bukan karena takut dan bukan
karena bepergian.”
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, jika
ada yang terpaksa menjamak sholat karena sedang menjalani resepsi pernikahan
atau karena kesibukan yang amat memaksa untuk menunda sholat, maka dapat
dijelaskan sebagai berikut:
Pada prinsipnya, sholat lima
waktu itu sama sekali tidak boleh ditinggalkan, apapun alasannya. Jika karena
suatu hal terpaksa tidak mengerjakan sholat pada waktunya,maka jalan terbaik
adalah menjamaknya, Dhuhur dengan Ashar dan/atau Maghrib dengan Isya.
Hal-hal yang dianggap dapat
menjadi sebab bolehnya seseorang menjamak sholat ternyata antara satu fuqaha’
dengan yang lain berbeda, karena perbedaan persepsi dan interpretasi mereka
terhadap dalil. Ini artinya, bisa saja ditambahkan faktor lain sejenis yang
memang benar-benar menyebabkan sulitbnya seseorang mengerjakan sholat pada
waktunya.
Oleh karena itu, dapat ditegaskan
bahwa semua jenis uzur (halangan) yang menyulitkan seseorang melaksanakan
sholat pada waktunya, membolehkan dia untuk menjamak sholat, selama halangan
tersebut bukan berupa kemaksiatan atau pelanggaran ajaran agama, dan harus
tetap disertai hati yang taat pada Allah SWT.
Perlu diketahui, bahwa orang yang
diperbolehkan menjamak sholat tidak secara otomatis diperbolehkan pula
meng-qashar sholat (yakni melaksanakan sholat yang mestinya empat rakaat
menjadi dua rakaat) sebab diperbolehkannya meng-qashar sholat hanyalah kalau
sedang bepergian sejauh kira-kira 90 km, atau sedang wuquf di Arafah dan mabit
di Muzdalifah. Wallaahu a’lam
1 komentar:
Maaf mau tanya bagaimna hukum.y klo sering di jamak krena pekerjaan krna pkrjaan seorang asisten yg atasan.y sering dinas luar kota
Posting Komentar